Liga Inggris

Kolom
Rob Maul


Impossible Is Nothing

Mei 2009, Sir Alex Ferguson untuk kesembilan kalinya menerima penghargaan Barclays Premier League Manager of the Year. Namun, sebagian justru beranggapan gelar kehormatan itu sepantasnya jatuh ke tangan Tony Pulis, yang mampu membawa keajaiban di Stoke City sepanjang musim 2008/09.

Membawa sebuah klub promosi ke Premier League bukan tugas mudah. Tapi, setiap manajer sadar bahwa bertahan di top flight division merupakan prestasi yang lebih sulit diraih.

Harus diakui Stoke tidak punya banyak pendukung karena sikap mereka yang tak kenal kompromi. Sejujurnya The Potters kerap menampilkan gaya sepak bola yang jauh dari kesan atraktif. Toh misi mereka tercapai.

Pada akhir musim 2008/09, Stoke mampu bertengger di posisi 12 klasemen akhir Premier League. Mereka sudah dipastikan terhindar dari jerat degradasi dua pekan sebelum kompetisi berakhir. Ini merupakan prestasi yang sangat berarti bagi Pulis karena ia sudah terlalu sering menghadapi degradasi sepanjang 17 tahun karier manajerialnya.

Akhir pekan ini, alih-alih kembali ke Championship dan menghabiskan musim panas menjual pemain demi menurunkan anggaran gaji, Stoke bakal menghadapi Burnley di Britannia Stadium dan mempertahankan status sebagai klub Premier League.

Apa yang dilakukan Pulis sungguh luar biasa. Dia mampu memaksimalkan kekuatan tim meski terus dihujani kritik dari media dan sesama manajer.

Jelas terjadi kontradiksi antara reaksi negatif yang diterima Stoke musim lalu dengan aura positif yang diberikan kepada dua klub promosi lainnya, yaitu West Bromwich Albion serta Hull City.

Di bawah arahan Tony Mowbray, West Brom begitu dipuja karena prinsip sepak bola mereka yang masih murni. Hull membuat semua orang terkejut karena mampu mengalahkan Arsenal 2-1 di Emirates Stadium dan berhasil menempati posisi Liga Champion pada November 2008.

Namun, tidak ada satu pun dari keduanya yang sesukses Stoke. West Brom menghabiskan hampir seluruh musim di posisi juru kunci walau sibuk melakukan jual beli pemain pada musim panas sebelumnya.

Sementara itu, Hull berhasil menyelamatkan diri tepat pada laga pamungkas. Mereka pasti terlempar ke Championship andai Newcastle United dan Middlesbrough tidak melakukan kebodohan.

Perbandingan 50-50

Premier League adalah kompetisi yang sulit diprediksi jika menyinggung degradasi. Status menjadi tidak berarti. Faktanya, 15 dari 24 klub Championship pernah bertualang di Premier League dalam 17 tahun terakhir. Bahkan tujuh klub dari League One juga pernah merasakan kebanggaan yang sama.

Berdasarkan statistik, perbandingannya tetap 50-50. Dari 50 klub yang promosi ke Premier League sejak 1992/93, terdapat 26 tim yang berhasil bertahan pada musim pertama mereka.

Terakhir kalinya tiga klub promosi mampu bertahan di Premier League terjadi pada 2001/02. Hingga kini, Fulham, Blackburn Rovers, dan Bolton tetap beraksi di Divisi Utama serta merasakan nikmatnya berlaga di Eropa.

Bertahan di Premier League tidak mustahil dilakukan. Tapi, tentu saja sebuah klub kudu mendapatkan dukungan penuh dari direktur klub pada bursa transfer, plus memiliki tim yang solid, rencana jangka panjang, manajer yang bisa diandalkan, dan sikap optimistis guna mewujudkannya, serta tentu saja keberuntungan.

Nasib Tiga Klub

Jadi, bagaimana prospek ketiga klub promosi yang bakal berlaga di Premier League 2009/10? Birmingham City, yang kerap naik-turun antardivisi dalam lima musim terakhir, membutuhkan hubungan yang lebih kuat dan sehat antarsuporter dan dewan klub.

Di lapangan, mereka akan bergantung pada Kevin Phillips, yang mulai menua, Barry Ferguson, serta si cepat asal Ekuador, Christian Benitez. Khusus bagi Benitez, ia harus membuktikan The Blues tidak sia-sia membayar sembilan juta pound (147,4 miliar rupiah) guna merekrutnya.

Mencapai sukses luar biasa di Skotlandia, Alex McLeish memiliki latar belakang manajerial yang tepat. Tapi, tetap saja ia salah satu kandidat manajer yang bakal kehilangan pekerjaannya sebelum akhir Mei 2010.

Di kota yang berbeda, ada keyakinan kuat bahwa Wolverhampton Wanderers, yang untuk kedua kalinya berada di Premier League dalam 25 tahun terakhir, lebih siap menghadapi tantangan berat tersebut. Pertama, mereka memiliki sederet pemain yang berpotensi menjadi mesin gol, seperti Sylvan Ebanks-Blake dan Kevin Doyle, yang baru dibeli seharga 6,5 juta pound (106,4 miliar rupiah). Lalu, The Wolves diperkuat pemain yang memiliki kecepatan, khususnya di kedua sayap macam Michael Kightly, Andy Keogh, dan Matthew Jarvis. Kekuatan yang bisa membuat bek-bek terbaik kerepotan.

Barisan pertahanan The Wolves, bakal menjadi kunci. Apakah mereka cukup tangguh menghadapi tekanan bomber-bomber terbaik Inggris? Mampukah pemain berpengalaman macam Richard Stearman, Jody Craddock, dan Christophe Berra menjaga lini belakang tetap solid dalam 38 partai yang melelahkan?

Jangan lupakan pula Burnley, wilayah terkecil di Inggris yang memiliki satu wakil di Premier League. Realitas menunjukkan bahwa The Clarets, yang memiliki rataan penonton partai kandang terendah (13.000) dan punya skuad paling tidak berpengalaman di Premier League, sepertinya hanya akan menempati posisi terbawah.

Tapi, gaya sepak bola cepat dan mematikan yang ditunjukkan Burnley saat menyingkirkan Fulham, Chelsea, dan Arsenal di Piala Liga musim lalu pantas mendapat perhatian khusus. Apalagi manajer Owen Coyle merupakan karakter nan cerdik.

Apa pun yang terjadi, Burnley berniat menikmati musim 2009/10 sebaik mungkin. Tidak jauh berbeda dengan sikap Stoke 12 bulan silam. Well, bertahan di Premier League sungguh sulit dilakukan, tetapi bukan misi yang mustahil.

Penulis adalah wartawan sepak bola yang berkontribusi untuk The Independence, The Times, dan Sunday Times di Inggris.



Posting Komentar